JAYAPURA – Penolakan terhadap Keputusan Presiden Nomor 159/TPA Tahun 2020 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Madya di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang ditetapkan pada tanggal 23 September 2020, yang mengangkat Dance Yulian Flassy, SE,. M.Si,. sebagai Pejabat Definitif Sekretaris Daerah Provinsi Papua, datang dari berbagai kalangan masyarakat di Papua karena masyarakat menganggap bahwa kepres tersebut tidak saja sarat kepentingan politik, tetapi juga tidak harmonis.
Penolakan kali ini datang dari Tokoh Aktivis Buruh Papua Aser Gobai ST, yang khawatir dengan kepres yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Papua karena Jakarta, dalam hal ini Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang tidak memperhatikan hasil nilai seleksi dan tidak melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua, sebelum mengangkat dan menetapkan Pejabat Definitif Sekda Papua.
“Kami sebagai masyarakat kelas proletariat yang bergantung hidup dengan kinerja pemerintahan yang baik, jujur, bersih, bertanggung jawab dan bebas dari intervensi politik, tentu sangat kecewa dengan keputusan presiden kali ini, karena apa yang disarankan oleh menteri dalam negeri kepada presiden dan apa yang diputuskan oleh presiden bukanlah orang yang terbaik bukan calon Sekda yang memiliki nilai akhir terbaik”, Kata Aser Gobai, ST dari Timika, Selasa (03/11)
Ia meminta, presiden harus segera membatalkan kepres tersebut dan lakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi Papua, serta tidak memaksakan pemerintah provinsi Papua untuk menempuh upaya hukum melawan pemerintah pusat, karena pemerintah provinsi Papua tidak dimungkinkan menang lewat sebuah proses hukum yang melawan pemerintahan pusat.
“Presiden harus membatalkan atau merevisi kepres yang menetapkan saudara Dance Yulian Flassy sebagai sekda Papua dan mengangkat saudara Doren Wakerwa karena saudara Doren calon dengan peringkat terbaik, teratas, serta diterima oleh gubernur dan wakil gubernur untuk bekerja sama membangun Papua lebih baik, lewat program-program kerja pemerintahan provinsi Papua,” katanya.
Selain itu, kata Gobai, Mendagri serta presiden harus lakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi Papua, karena upaya hukum lewat PTUN pun kalau ditempuh oleh pemerintah provinsi Papua, untuk menolak kepres pengangkatan sekda definitf, sudah pasti kita bisa tahu hasil PTUN nya seperti apa, karena kekuasaan yang bisa mengintervensi pengadilan PTUN bukan ditangan pemprov Papua.
“Jadi jangan pusat tambah persoalan Papua karena penetapan sekda Papua tidak menggunakan cara-cara yang harmonis, yang tidak bisa mendukung pemprov Papua dan masyarakat Papua,” terangnya.
Aser mencontohkan pemerintah provinsi Papua yang pernah tidak mendapat dukungan dari pemerintah pusat saat pemerintah provinsi Papua serius untuk menyelamatkan warga negara yang rentan mendapat perlakuan tidak adil dari penguasa.
“Contohnya seperti kasus buruh di Papua yang menjadi korban kebiadaban manajemen PT.Freeport Indonesia, yang mana surat penegasan gubernur terhadap manajemen freeport untuk segera membayarkan hak-hak karyawan yang di PHK secara ilegal dan mengembalikan pekerja yang di PHK secara ilegal itu ke tempat kerja mereka yang semula,” kata Aser.
Aser juga meminta pemerintah pusat, dalam hal ini presiden Joko Widodo dan menteri dalam negeri, Tito Karnavian, harus mereview dan melakukan analisa situasi Papua yang tidak kunjung kondusif karena kebijakan pemerintah pusat yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat di Papua.
“Presiden dan menteri dalam negeri harus mengkaji kembali semua kebijakan pusat ke Papua, karena setiap kebijakan pusat ke Papua kerap kali menciptakan situasi yang tidak kondusif atau sering terjadi penolakan dari masyarakat,” ujarnya. (Alex)