JAYAPURA-Proses penyidikan Bupati Waropen Yeremias Bisay atas dugaan gratifikasi sebesar Rp 19 miliar ditunda sementara, menyusul tahapan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.
Demikian disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Nikolaus Kondomo kepada wartawan usai memimpin upacara Hari Bhakti Adhyaksa ke-60, di Kota Jayapura, Rabu (22/7).
Nikolaus mengatakan penundaan penyidikan mengacu pada instruksi Jaksa Agung Nomor 9 Tahun 2019 tentang optimalisasi peran kejaksaan dalam mendukung dan mensukseskan Pilkada Serentak. Yeremias Bisay berencana ikut maju dalam tahapan tersebut.
“Dalam poin ke-3 Instruksi Jaksa Agung berbunyi, penundaan penyidikan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi berlaku terhadap calon kepala daerah yang ikut serta dalam kontestasi Pilkada sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah sampai dengan pelantikan dan selesai rangkaian tahapan pemilu selesai,” jelas Nikolaus.
Kejaksaan kata Nikolaus, harus tetap bersikap profesional dalam menangani setiap perkara kasus korupsi. Misalnya menghindari pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan dalam Pilkada, dengan cara memanfaatkan kejaksaan.
“Kejaksaan banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kepentingan (politik,red) untuk maju (Pilkada). Dia tahu bahwa dia tidak kuat, bagaimana caranya, melaporkan ke kejaksaan, kemudian menekan kejaksaan melakukan penyidikan untuk memuluskan kepentingan orang-orang tertentu, makanya kejaksaan harus profesional,” tegasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan Bupati Waropen Yeremias Bisay sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi Rp 19 miliar. Dugaan gratifikasi ini terjadi saat yang bersangkutan menjabat Wakil Bupati Waropen periode 2010-2015.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua, Alexander Sinuraya menyebut pemberi gratifikasi kepada Bupati Waropen memiliki profesi berbeda. Gratifikasi diberikan secara tunai dan transfer antar-rekening bank.
“Latar belakang profesinya ada pengusaha (hingga) anggota dewan dengan jumlah yang cukup banyak dan berulang-ulang. Gratifikasi ini diterima selama 10 tahun dengan total mencapai Rp 19 miliar,” kata Alex beberapa bulan lalu.(tambunan)