Kelompok Pro dan Kontra Harus Diakomodir sehingga Tak Timbulkan Polemik
JAYAPURA-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Laurenzus Kadepa mengingatkan Panitia Khusus Otonomi Khusus (Pansus Otsus) DPR Papua untuk berhati-hati dalam bekerja guna mencari jalan terbaik untuk masa depan Papua yang lebih baik setelah Otsus berakhir pada tahun 2021.
“Saya meminta kepada Pansus Otsus agar hati-hati dalam bekerja. Karena ini sebuah misi yang mana semua kepentingan sedang buka mata, dari semua kelompok baik korban dari Otsus maupun yang diuntungkan dari Otsus, sedang menatap Pansus Otsus DPR Papua,” kata Laurenzus Kadepa saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (28/7).
Tak hanya itu, Kadepa juga menyarankan Pansus Otsus DPR Papua harus pro kepada suara korban. Korban yang dimaksud adalah korban dari kelompok yang mengatakan Otsus gagal dan meminta referendum serta kelompok yang menyatakan Otsus berhasil dan NKRI harga mati.
“Jadi, Pansus Otsus DPR Papua harus hadir di tengah-tengah dan harus pro suara korban dari kedua kelompok itu, terutama dari sisi kemanusiaan,” ujarnya.
Menurutnya, Pansus Otsus DPR Papua harus mengambil jalan tengah, artinya berdiri di tengah dan pro ke masalah kemanusiaan, mengedepankan kemanusiaan dan suara korban dari kedua kelompok itu. Itu yang perlu didengar.
Selain itu, lanjut Kadepa, sesuai Pasal 77 UU Otsus jika dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), masyarakat meminta merdeka atau referendum juga menurutya, tidak langsung serta merta Papua merdeka, karena ini merupakan sebuah negara yang tentu harus mengikuti aturan.
“Jadi, bagian ini, pemerintah saya minta jangan menanggapinya dengan serius atau menanggapi dengan operasi militer, karena nanti jika RDP itu merdeka,” tuturnya.
Sebab kata Kadepa, hal itu untuk menghargai pendapat masyarakat dan menjadikan ini sebagai bagain dari demokrasi. Karena masyarakat langsung menyuarakan melalui RDP dan memutuskan referendum misalnya, maka itupun tidak langsung serta merta Papua merdeka, karena ini negara besar. Jadi, melihat suatu masalah harus dengan jiwa yang besar.
Kadepa mengatakan mestinya masyarakat diberikan ruang atau kebebasan untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan pasal yang sudah ada, agar dikemudian hari tidak menjadi masalah.
“Jadi di sini saya mewakili dari Komisi I DPR Papua, saya berada di posisi tengah yakni posisi korban dari kedua belah pihak, yakni kemanusiaan,” ucapnya.
Kadepa meminta pemerintah pusat agar rancangan UU Otsus yang dibuat sepihak yang saat ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI agar dibatalkan.
“Saya berharap rancangan Otsus yang saat ini masuk Prolegnas DPR RI, kalau boleh dibatalkan dan minta pendapat gubernur, DPR Papua. Itu lebih bagus,” tandasnya.
“Apakah itu RUU Otsus Plus draft ke 14, saya tidak tahu. Tapi itu versi mereka, versi Mendagri atau apa. Itu saya minta dengan hormat agar pemerintah pusat segera membatalkan dan kembali koordinasikan kepada gubernur, DPR Papua dan MRP,” lanjutnya.
Kadepa mengakui saat ini terkait UU Otsus menjadi pro kontra bagi semua pihak di Papua, terkait pendapat mereka soal berakhirnya Otsus di tahun 2021 yang ada di Papua sejak tahun 2001.
Dikatakan, pada tahun 2001, Otsus ada di Papua bukan karena niat baik pemerintah pusat, hanya karena adanya tuntutan politik, maka sebagai solusi jalan tengah pemerintah memberikan kebijakan khusus untuk Papua, sama kebijakan yang diberikan di Aceh, Yogyakarta dan DKI Jakarta.
Namun katanya, sebagai implementasinya dari daerah-daerah yang menerima Otsus di Indonesia itu, ternyata di Papua berbeda.
“Bedanya dimana? Contohnya dari sisi proses penyelesaian Aceh beda dengan Papua. Kalau masalah Aceh dulu pernah melibatkan pihak ketiga yakni Eropa, Helsinky. Jadi, setelah perundingan di Helsinky, pelaksanaan Otsus di Aceh kami lihat berjalan baik. Beberapa kali DPRD Aceh dari partai lokal ke Papua, mereka sampaikan progres Otsus di Aceh,” paparnya.
Bahkan, di Aceh sudah ada KKR, sudah ada partai lokal dan lainnya. Untuk itu, ia mempertanyakan kenapa di Papua tidak bisa seperti di Aceh, yang ada partai lokal, KKR dan lainnya. Sedangkan di Papua baru ada 14 kursi DPR Papua.
“Terus kenapa KKR dibatalkan Mahkamah Kontitusi (MK)? Kenapa Pengadilan HAM tidak ada di Papua, hanya di Surabaya, Makassar dan Jakarta. Jadi, hal-hal itu membuat banyak lembaga, organisasi secara individu, tokoh mengatakan Otsus gagal. Itu dari kelompok yang sudah mengikuti perkembangan, terus ada kelompok juga mengatakan Otsus berhasil, karena melihat dari sisi dana yang banyak, lalu dananya sampai ke petinggi-petinggi daerah di Papua, hanya penggunaan anggaran yang tidak beres. Kebijakan Otsus bagus, tapi penerapan yang perlu dirubah,” jelasnya.
Ditambahkan, saat ini terkait Otsus itu, ada pendapat berbeda dari berbagai kelompok. Namun, politisi Partai NasDem yang dua periode duduk di Komisi I DPR Papua ini, menilai jika hal itu wajar saja.(nik)