JAYAPURA – Ketua Asosiasi Desa Kabupaten Yahukimo Eneas Asso mengatakan, dirinya bertanggung jawab atas peristiwa penyanderaan istri Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kabupaten Yahukimo Ny. Lazarus Pahabol, yang terjadi tanggal 3 Juni 2024 di Dekai Yahukimo.
Dikatakannya, Asosiasi Desa terpaksa menyandera istri Kadis DPMK karena Kadis DPMK tidak ada di rumah.
“Kami terpaksa membawa istri kadis, karena kadisnya tidak ada, jadi kami jemput di rumahnya kemudian dibawa ke Sekretariat Asosiasi Desa di Gedung Abyu,” katanya, didampingi Jubir Asosiasi Desa Benni Hesegem, Selasa (04/06) di Abepura.
Diakuinya, penyanderaan berlangsung dari pukul 10.00 pagi hingga jam 5 atau jam 6 sore, tidak ada unsur kekerasan maupun pelecehan selama disandera.
“Sebelum menjemput istri kadis, kami ijin dulu ke pihak kepolisian, sesuai petunjuk kami bawa dengan baik-baik secara etika yang baik, jadi jangan salah persepsi tidak ada kekerasan, jika ada yang menyebut ada kekerasan fisik itu tidak benar, pihak kepolisian, dalam hal ini Waka Polres turun langsung,” tegasnya.
Istri Kadis DPMK dipulangkan setelah ada kesepakatan antara para kepala desa pemegang SK 147 dengan Kadis DPMK Lazarus Pahabol yang difasilitasi Kapolres.
“Jadi dalam pertemuan tersebut disepakati, setelah uang masuk, kami akan audiensi dengan Pemda Yahukimo yang difasilitasi oleh Kapolres, rencananya tanggal 6-7 Juni 2024 diaula Polres Yahukimo,” katanya.
Juru Bicara Asosiasi Desa Kabupaten Yahukimo Benni Hesegem menambahkan, para kepala kampung menyandera istri Kadis DPMK, berawal dari pasca putusan pengadilan Mahkamah Agung tanggal 24 November 2023 yang tertuang dalam situs resmi mahkamahagung.go.id. Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia melalui upaya Peninjauan Kembali (PK) Nomor perkara: 174 PK/TUN/2023. Dalam putusannya mengabulkan seluruh gugatan, yang meliputi membatalkan SK Nomor 298/2021 dan memberlakukan Kembali SK nomor 147/2021, dengan mengaktifkan kembali pada jabatan dan posisi semula sebagai kepala Kampung yang sah di Kabupaten Yahukimo.
“Putusannya sudah distribusikan ke pemerintah, tapi pemerintah belum melakukan evaluasi sampai hari ini, tanggal 18 Maret 2024 kami sudah menyerahkan ke Sekda, Asisten I, Kadis DPMK, Pendamping, Bank, dan Polres,” katanya.
Kemudian tanggal 7-8 Mei 2024, audiensi dengan Polres Yahukimo di ruang Kapolres, dihadiri pihak bank, DPMK, Asosiasi Desa atau pemegang SK 147, juga perwakilan perwakilan kepala kampung versi SK 298 sekitar 5 orang.
“Waktu itu Kadis DPMK Lazarus Pahabol menyampaikan, ia akan melayani SK 298 atau SK yang ilegal, rekomendasinya sudah keluar dananya sudah didistribusikan tinggal jalan saja. Maka kesepakatan waktu itu, dana desa setelah KPPN transfer ke rekening 517 desa, kami harus duduk bersama dulu untuk kelirkan persoalan, kalau sudah kelir baru melayani,” katanya.
Karena Kadis DPMK menyampaikan akan melayani berdasarkan SK 298, maka para kepala kampung yang menang di MA berinisiatif datang ke rumah Kadis DPMK, karena Kadis DPMK melayani dan memberikan rekomendasi dari rumah.
“Para kepala kampung datang ke rumah Kadis DPMK mau menanyakan kenapa melakukan pencairan berdasarkan SK 298, karena Kadis DPMK lari, akhirnya ibu Kadis disandera,” ungkapnya.
Diakuinya, putusan pengadilan Mahkamah Agung sesungguhnya sudah inkrah, jadi tidak bisa minta surat ini surat itu lagi, putusan sudah jelas. Harusnya kuasa hukum pemerintah bisa menjelaskan putusan ini.
“Kalau pemerintah tutup mata seperti ini, bisa memicu konflik, bisa ada gesekan, itu yang harus kita jaga. Kami asosiasi sudah menyampaikan secara prosedural kepada pemerintah, kalau pemerintah masih menutup mata, konsekuensinya entahlah apa yang terjadi, kami ini manusia,” ungkapnya.
Jadi lanjutnya, mulai dari sekarang jika dana desa sudah masuk, DPMK komunikasi dengan bupati untuk sementara hentikan dulu, selesaikan dulu masalah ini, jika sudah selesai atau sudah kelir baru melayani dana desa, karena dana desa ini negara langsung berikan ke desa, bukan ke individu, tujuannya untuk membangun desa.
“Dana desa ini keluar bukan dari saku pribadi, ini uang negara jadi harus menjalankannya dengan melihat status hukum desa, jadi kita sebagai warga negara sudah mentaati aturan, ini putusan negara yang berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Beni mengatakan, pemerintah kalau tidak melaksanakan ini sama saja dengan menghina negara, pemerintah yang mengkhianati negara, karena bupati itu menjalankan aturan negara, bukan menjalankan aturan pribadi.
“Jadi kami minta, harus evaluasi total, sekarang sistem pembayaran di desa tidak seperti tahun-tahun yang lalu, dimana pencairannya tiga tahap, sekarang hanya dua tahap, tahap pertama cair 60 persen, kemudian pelaporan realisasi, setelah realisasi baru tahap kedua bisa cair. Jadi sebelum realisasi kami minta pemerintah harus evaluasi total, jangan sampai terjadi gesekan antar masyarakat bawah,” pungkasnya.**