JAYAPURA– Peristiwa penyerangan yang terjadi di Yahukimo pada hari minggu tanggal 3 oktober 2021 bukan perang suku antara Suku Kimyal dan Suku Yali (Ninia), melainkan peristiwa penyerangan itu terjadi secara spontanitas, tidak di duga dan tidak direncanakan oleh seluruh intelektual dan masyarakat suku kimyal, hal tersebut disampaikan Mari Mirin perwakilan tokoh intelektual Suku Kimyal.
Dikatakannya, tetapi peristiwa tersebut terjadi sebagai bentuk pelampiasan, atas meninggalnya seorang tokoh Yahukimo yang berasal dari Suku Kimyal almarhum bapak Abock Busup di Jakarta, secara mendadak sehingga sebagian masyarakat Kimyal secara spontan, melakukan penyerangan yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda di kedua bela pihak.
“Atas dasar itu kami menyatakan bahwa: kami masyarakat Suku Kimyal mengakui bersalah dihadapan Tuhan, kami juga meminta maaf kepada Gereja Injili di Indonesia wilayah Yahukimo, hamba-hamba Tuhan, Badan Pengurus Jemaat Efanestia, dan jemaat Kali Brasa, meminta maaf juga kepada masyarakat suku Yali yang mengalami korban jiwa, luka-luka maupun harta benda lainnya dan bersedia untuk melakukan penyelesaian damai, permasalahan tersebut dengan saudara-saudara kami dari suku Yali disrtik Ninia dan Holuwon secara aturan gereja ataupun aturan adat agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan dapat menimbulkan kegelisahan serta ketidaknyamanan bagi masyarakat kedua suku,” katanya, dalam realisenya yang terima redaksi Rabu (13/10).
Berdasarkan data, lanjutnya, peristiwa tersebut menimbulkan korban jiwa dari kedua bela pihak, yaitu enam orang meninggal dunia, yang terdiri dari dua orang berasal dari suku Kimyal, satu orang korban yang pelakunya adalah dari suku Yali dan satu orang korban ditembak oleh aparat.
Kemudian empat orang korban dari suku Yali yang pelakunya dari suku Kimyal, untuk itu keadilan harus ditegakan seadil-adilnya bagi kedua suku.
“Kami masyarakat suku Kimyal memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih, kepada pimpinan Gereja Injili di Indonesia Bapak Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo, S.Th, Bapak Wakil Presiden GIDI Pdt. Usman Kobak, MA dan jajarannya, yang telah menghadiri ibadah duka almarhum bapak Abock Busup, dan memberikan penguatan, sekaligus mengunjungi kami di kabupaten Yahukimo untuk mendoakan, memberikan penguatan, serta meredakan situasi di Yahukimo yang saat itu mengalami ketegangan dan tidak kondusif,” jelasnya.
Diakuinya, cikal-bakal tumbuh suburnya benih kebencian dan ketidakharmonisan, yang pada ujungnya peristiwa yang terjadi kemarin, merupakan sebagai bentuk protes atas akumulasi dari sejumlah stigma negative, yang telah dibangun selama ini oleh para tokoh intelektual dan masyarakat suku Yali (Ninia) kepada suku Kimyal.
“Berawal dari sejarah pembunuhan beberapa misionaris yaitu pembunuhan tuan Philips Master, tuan Stan dale misionaris warga negara Amerika, dan bapak Tenggen Jikwa penginjil lokal asal kabupaten Tolikara, yang saat itu menjadi penginjil di suku Kimyal,” terangnya.
Namun, lanjutnya, dalam perjalanan mereka dari Korupun (Kimyal) menuju ke Tolikara, melewati wilayah Yali, tetapi dalam perjalanan tersebut, mereka dicegat oleh orang Yali dan dibunuh di wilayah Sengsolo, tetapi suku Yali tidak pernah mengakui bahwa pembunuhan para penginjil tersebut benar dibunuh oleh suku Yali, tetapi mereka memutarbalikan fakta bahwa orang Kimyal sebagai pelaku pembunuhan, padahal sesungguhnya orang Kimyal bukan pelaku pembunuhan.
“Stigma negatif yang telah dibangun selama ini kepada kami orang Kimyal, seperti Kimyal suku kecil, orang Kimyal terbelakang, pengacau, pembuat anarkis, pemberontak dan lain sebagainya oleh tokoh-tokoh Yali (Ninia), baik dalam mimbar gereja, politik maupun ruang public,” katanya.
Selain itu, kata Mari Mirin, juga memuat kata-kata yang menyinggung perasaan kami, baik melalui pembicaraan, maupun di medsos sebelum dan sesudah kematian tokoh suku Kimyal, seperti bapa Jhon Mirin dan Abock Busup, sehingga hal-hal tersebut menjadi penyebab pemicu peristiwa, yang terjadi pada tanggal 3 Oktober 2021.
“Atas dasar itu maka, kami intelektual dan masyarakat suku Kimyal menyatakan sikap dengan tegas bahwa:
Kami masyarakat suku Kimyal meminta kepada saudara Didimus Yahuli, SH selaku bupati Kabupaten Yahukimo, agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat memprovokasi, memanaskan situasi, dan segera hentikan membangun narasi-narasi yang menyudutkan suku kimyal, “ katanya.
Juga meminta kepada saudara Didimus Yahuli sebagai tokoh suku Yali (Ninia), agar segera bertanggung jawab atas pernyataan yang di keluarkan oleh masyarakat Yali (Ninia), dalam pertemuan antara pemerintah kabupaten Yahukimo, Dandim 1715, Kapolres Yahukimo dan pimpinan Gereja GIDI pada tanggal 7 Oktober 2021 yang mengatakan “keluarga korban meminta kepada bupati agar segera memindahkan ibu kota di pinggir kali Sengsolo, karena hitung-hitung suku yang sama melakukan kejahatan 7 kali”.
“Pernyataan tersebut kami dari suku Kimyal menolak dengan tegas, atas tuduhan yang tidak sesuai fakta karena sesungguhnya, sejak berdirinya kabupaten Yahukimo berdasarkan data menurut orang Kimyal sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 2018 dan 2021,” katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, kami meminta agar segera merinci ke-7 kejahatan di maksud secara terbuka, agar tidak terjadi pembohongan publik.
“Secara hukum, berdirinya Kabupaten Yahukimo bukan milik suku Yali (Ninia) tetapi milik seluruh suku di Kabupaten Yahukimo, sehingga tidak pantas mengeluarkan pernyataan tersebut,” katanya.
Dikatakannya, kami menolak dengan tegas atas permintaan Bupati Yahukimo dalam sambutannya pada tanggal 8 Oktober 2021 pada pukul 12.25 wit, di Gereja GIDI Efanhastia, untuk mendirikan Mako Brimob di Kabupaten Yahukimo, karena kami menilai, saudara bupati menjadikan peristiwa ini sebagai dasar untuk memuluskan agenda pihak tertentu yang tidak sesuai urgensi di Kabupaten Yahukimo.
“Berdasarkan pernyataan saudara bupati yang mengatakan bahwa ‘penyerangan suku Kimyal terhadap suku yang lain, ini yang terakhir kalinya, apabila terulang, akan dilawan oleh seluruh suku yang ada’, kami suku Kimyal menilai pernyataan sepihak tersebut mengandung unsur kebencian, dendam, diskriminasi suku, dan tidak sesuai visi bupati yaitu “Pemulihan Yahukimo” yang selama ini dikumandangkan oleh Bupati Didimus Yahuli, SH serta tidak mencerminkan sebagai seorang pemimpin,” tegasnya.
Atas dasar itu, lanjutnya, ia meminta kepada Bupati Kabupaten Yahukimo untuk segera bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi kemarin di Yahukimo.
“Kami masyarakat suku kimyal meminta kepada pihak suku Yali (Ninia) dan Bupati Yahukimo, agar memberikan kepastian hukum bentuk penyelesaian peristiwa tersebut, apakah akan diselesaikan secara hukum positif, gereja atau hukum adat,” katanya.
Dengan tegas ia mengatakan, agar wacana pergantian 517 kepala kampung yang telah dilantik oleh almarhum bapak Abock Busup,MA melalui SK 147, saat masih menjabat sebagai bupati aktif, agar tidak boleh melakukan pilkades ulang di tahun yang sama oleh pemerintahan saat ini, karena pergantian tersebut telah dilakukan sesuai mekanisme dan tahapan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia.
“Kami meminta kepada Kapolda Papua selaku penanggungjawab keamanan di Papua, agar segera memerintahkan Kapolres Yahukimo, untuk tidak melakukan penyisiran yang berlebihan dilingkungan tempat tinggal masyarakat suku Kimyal yang menimbulkan ketakutan, ketidaknyamanan, trauma,” katanya.
Juga memberikan jaminan kesehatan, keselamatan serta makan minum bagi 58 orang yang telah ditahan.
“Kami meminta kepada Kapolres Kabupaten Yahukimo untuk memberikan jaminan keamanan kepada saudara-saudara kami dari suku lain, yang menjadi pendukung almarhum bapak Abock Busup pada pilkada tahun 2020, yang diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu agar segera dihentikan, karena tidak ada hubungan antara pilkada dengan peristiwa kemarin,” katanya.
Kami masyarakat suku Kimyal berharap, agar pemerintah daerah maupun para donator, supaya bersikap netral dalam memberikan bantuan kemanusiaan, dan kami sangat sesalkan peristiwa di Yahukimo ini terkesan dijadikan sebagai ajang mencari kepentingan tertentu bagi para elit politik.**