JAYAPURA-Penasehat Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Papua Dr Yunus Wonda,MH menegaskan DPR Papua dan MRP hanya bertugas sebagai fasilitator bukan sebagai pengambil keputusan menerima dan menolak Otonomi Khusus (Otsus) yang sangat santer dibicarakan akhir-akhir ini.
Hal itu ditegaskannya, lantaran ada berita yang menyatakan bahwa DPR Papua dan MRP yang menolak Otsus sehingga kedua lembaga ini harus dibubarkan.
“Ada banyak masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja dan lainnya bicara terkait keberhasilan dan kegagalan Otsus. Ada juga berita DPR Papua dan MRP yang menolak Otsus (sehingga) kedua lembaga ini harus dibubarkan. Supaya jelas, kapasitas DPR Papua dan MRP hanya sebagai fasilitator. Tidak dalam posisi memutuskan menolak atau menerima Otsus,” jelas Yunus Wonda saat ditemui awak media di Hamadi Pelayaran, Rabu (29/7).
Dikatakannya, terkait dengan evaluasi Otsus harus mengacu pada Pasal 77 Undang-undang Otsus. Dimana yang berhak melakukan evaluasi Otsus adalah rakyat Papua yang difasilitasi  DPR Papua dan MRP.
“Undang-undang memberikan ruang legitimasi MRP melaksanakan dan menangkap semua aspirasi rakyat Papua maupun Papua Barat. Sesuai Pasal 77 memberikan legimitasi artinya seluruh rakyat papua menyampaikan aspirasi melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP). Aspirasi harus disampaikan ke DPR Papua dan MRP,” jelasnya.
Selanjutnya kata Yunus Wonda, tugas DPR Papua dan MRP adalah meneruskan aspirasi yang telah disampaikan rakyat Papua ke Pemerintah Pusat (Pempus).
“Apapun aspirasinya tugas kami hanya menyampaikan. Jadi sekali lagi dan DPR Papua dan MRP tidak dalam kapasitas setuju dan menolak Otsus,” tuturnya.
Menurutnya, terkait dengan pernyataan DPR Papua dan MRP dibubarkan jika menolak Otsus, tak segampang itu. Sebab DPR Papua dan MRP sedang melaksanakan konstitusi negara.
“Sekali lagi tugas DPR Papua dan MRP adalah memfasilitasi, mengumpulkan aspirasi, supaya ada wadah,” terangnya.
Ditekankannya, DPR Papua dan MRP harus bisa meluruskan Otsus. Dan dalam konteks ini sambung Yunus Wonda, tidak berbicara soal NKRI harga mati atau Papua Merdeka harga mati.
“Hari ini masyarakat Papua bicara Papua Merdeka tidak membuat besok pagi Papua Merdeka. Tapi bagaimana kita buat regulasi ke depan. Pasti ada pro kontra. Itu soal biasa. Rakyat pasti bicara lain, eksekutif bicara lain dan legislatif bicara lain,” tuturnya.
Namun lanjut Yunus Wonda, apa yang disampaikan oleh rakyat Papua harus diluruskan. Dan yang bisa menjawab aspirasi itu hanyalah Pemerintah Pusat.
“Jadi supaya tidak seakan-akan dimainkan oleh DPR Papua dan MRP,” katanya.
Ditambahkannya, selama Otsus berlangsung ada banyak pasal yang tidak terlaksana. Untuk itu, di masa mau berakhirnya Otsus ini, ada kesempatan untuk merubah pasal-pasal salah satunya terkait jabatan posisi gubernur, wakil gubernur, pimpinan DPR Papua dan DPRD kabupaten/kota, bupati serta wali kota harus Orang Asli Papua (OAP).
“Supaya orang Papua bisa berbicara kepentingan OAP dalam politik. Kita berikan ruang ke rakyat jangan dihalangi. Ini ruang demokrasi,” pungkasnya.(nik)