Bincang-bincang dengan Tokoh Pemuda Kampung Kaptiau, Distrik Bonggo Timur, Kabupaten Sarmi
Kampung Kaptiau begitu kaya akan sumber lautnya, namun masyarakatnya masih hidup jauh dari kata sejahtera. Mengapa Kampung Kaptiau Terabaikan dari sentuhan pemerintah?
Laporan Yudhi Effendi Khantum-Sarmi
Kaptiu, mungkin kata ini agak asing di telinga masyarakat Papua pada umumnya namun bukan untuk masyarakat asli Tabi yang sudah saling mengetahui satu sama lainnya sejak dahulu kala.
Kampung Kaptiau terletak paling timur dari Kabupaten Sarmi dan berbatasan langsung dengan Kampung Sawe Suma Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura.
Untuk sampai ke Kampung Kaptiau dari Abepura, Kota Jayapura harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam (jalan dengan kecepatan 60-80 km/jam).
Saat ini Kampung Kaptiau adalah surga bagi pemancing-pemancing lokal (Jayapura) dan luar Papua karena lautnya terdapat ikan-ikan “monster” yang ukurannya begitu besar.
Selain ikan yang ukurannya begitu besar, Kampung Kaptiau juga merupakan distributor kelapa untuk Kota Jayapura dan sekitarnya. Ikan, kelapa, kerang/bia (air tawar) dan kepiting/karaka (brachyura) merupakan kekayaan warisan leluhur bagi masyarakat Kampung Kaptiau.
Namun, kekayaan begitu banyak seperti itu tetapi masyarakat kaptiau masih hidup jauh dari kata sejahtera. Apa-apa serba susah, transportasi pun satu-satu (jarang) sampai ke kampung tersebut.
Bintang Papua yang berkunjung ke kampung tersebut akhir pekan kemarin begitu takjub dengan alamnya yang indah dan kekayaan laut dan daratnya yang luar biasa.
Matahari semakin hilang dari pandangan, namun aktivitas masyarakat di sana tetap berlangsung. Satu, dua karung 20 kg diangkat dari speed boat yang memuat kelapa-kelapa dari dusun ke bibir pantai yang bisa dilalui kendaraan.
Kelapa-kelapa ini dihargai Rp 1000 kepada pembeli yang langsung datang membeli di tempat. Aktivitas itu berlangsung hingga malam menjemput.
Ikan dengan ukuran jumbo pun demikian. Dimana, nelayan yang baru sandar dengan perahunya di bibir pantai langsung datang pembeli yang sejak tadi menunggu.
Dari kejauhan kita melihat pembeli sudah memegang ikan dengan wajah yang sumbringah karena ikan yang dibeli walapun besar harganya terbilang murah.
Mama-mama di bahunya dipikul kerang/bia (air tawar) dalam karung 10-20 kg dari kampung tua (kaptiau) ke bibir pantai yang jaraknya kurang lebih 2 km. Pemandangan ini bagi kami yang baru datang ke situ sesuatu pemandangan yang baru, tetapi bagi masyarakat setempat hal itu merupakan rutinitas setiap hari bagi mama-mama setempat.
Sayangnya, hari itu tidak ada pedagang yang membeli kerang/bia (air tawar) sehingga mama-mama menyimpannya di bibir pantai dan menutupnya dengan dedaunan serta karung seadanya.
Aktivitas ekonomi benar-benar terhenti ketika gelap menjemput dan sinar lampu yang diharapkan dari negara belum mampu menerangi kawasan pantai yang eksotis tersebut.
Tokoh pemuda Kampung Kaptiau, Zulkifli Yambai mengatakan bahwa untuk menciptakan satu sumber pendapatan untuk masyarakat di kampung, wajib hukumnya untuk seluruh masyarakat di Kampung Kaptiau untuk mengelola sumber daya alam yang ada.
“Sekarang kan ada bia, ikan, kepiting. Sekarang pemerintah harus menciptakan satu pendapatan bagi masyarakat kecil,” kata Zulkifli.
“Contohnya bia kan dicari dari jarak jauh kurang lebih 2 km tetapi pedagang membeli hasil alam itu dengan harga yang tidak sesuai (sehingga) tidak dapat mencukupi sembilan bahan pokok,” sambungnya.
Oleh karena itu, dirinya menyarankan harus ada pembeli yang dapat difasilitasi pemerintah untuk dapat membeli hasil-hasil alam itu dengan harga yang sesuai dan dapat mencukupi sembilan bahan pokok (Sembako).
“Kalau bisa pedagang membeli bia itu dengan harga Rp 150 ribu per karung 15 kg. Supaya Sembako masyarakat di sini dapat tercukupi,” sarannya.
Selain kerang, kepiting/karaka juga harus dibeli dengan harga yang sesuai. “Contohnya kepiting harganya Rp 10 ribu per ekor, padahal kalau di restoran atau rumah makan harganya cukup luar biasa. Hal-hal ini yang harus kita rubah (sehingga) masyarakat di sini dapat dihargai dengan harga yang pantas,” harapnya.
Zulkifli mengaku kepiting dicari masih menggunakan alat-alat tradisional atau masih mencari menggunakan metode yang diwariskan nenek moyang sehingga hasil yang didapatkan tidak banyak.
“Coba kalau masyarakat budi daya, pasti hasilnya banyak dan pendapatan masyarakat pun bertambah. Ini yang mestinya dilakukan pemerintah sejak dulu. Tetapi hal itu tidak dilaksanakan sampai saat ini,” mirisnya.
Untuk ikan pun, kata Zulkifli, tidak ada pembeli sehingga ikan meskipun besar dijual dengan harga yang murah. “Tidak wajar besarnya ikan dengan harga jualnya. Karena kita tidak memiliki pembeli yang diatur sesuai dengan mekanisme pasar,” tegasnya.
Menurutnya, harga Sembako yang jual oleh tukang jual keliling di Kampung Kaptiau begitu mahal sehingga harga hasil laut dan kelapa tidak sebanding dengan harga yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli Sembako.
“Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah dalam hal ini dinas-dinas terkait untuk bagaimana mengembangkan ekonomi masyarakat bawah,” katanya Zulkifli menyarankan untuk dapat menjadi catatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sarmi untuk ditindak lanjuti.
Saat disinggung terkait pembeli yang membeli hasil alam dengan harga yang murah, mengapa tidak membuat koperasi di Kampung Kaptiau. Menurutnya, usulan untuk hadirnya koperasi di Kampung Kaptiau sudah diusulkan pemuda ke pemerintah kampung.
“Kami sudah usulkan tetapi pemerintah kampung tidak menanggapi dengan serius (sehingga) semuanya tidak dapat berjalan. Apalagi organsiasi karang taruna di sini tidak berjalan dengan baik,” bebernya.
Dengan kondisi ini maka dirinya bersama pemuda lainnya yang tidak mempunyai kapasitas di dalam kampung memilih keluar dari zona yang tidak aman ini.
“Makanya kita menyarankan untuk dibentuknya koperasi. Kita sudah usulkan koperasi dari beberapa tahun lalu tetapi mentok dan saya yakin semua ini bisa terlaksana kalau ada pemimpin pemerintahan yang baru,” akunya.
Dia berharap ke depan siapa pun yang menjadi maju menjadi Kepala Kampung Kaptiau harus memiliki wawasan yang luas dan visi misi untuk bangun kampung ini jauh lebih baik dari saat ini.
“Supaya kita tahu mau membawa masyarakat ke arah mana. Kalau masyarajat sejahtera dia tidak akan pernah bicara merdeka,” tegasnya lagi.
Zulkifli mendorong untuk pemerintah kampung supaya lebih aktif dan jeli melihat persoalan mengakar di kampung untuk dapat mengembangkan ekonomi masyarakat.
“Pemerintah kampung yang harus lebih jeli melihat bagian itu supaya ke depan masyarakat di sini dapat merasakan kebahagaiaan melalui ekonomi yang dikembangkan kampung,” sarannya lagi.
Zulkifli kembali menyarankan siapa pun yang ingin maju menjadi Kepala Kampung Kaptiau harus memiliki jiwa politik dan bisnis.
“Dengan jiwa bisnis maka kepala kampung mampu mensejahterakan masyarakat. Dia tahu alur-alur mana yang bisa mendatangkan uang kepada masyarakat,” harapnya.(*)