Bincang-bincang dengan Pembuat Arang di Arso 2, Kabupaten Keerom (Bagian I)
Tujuh Tahun, Misriati Jadi Pembuat Arang
Misriati, wanita 56 tahun tersebut telah menjadi pembuat arang selama tujuh tahun lamanya. Bagaimana kisahnya selama menjadi pembuat arang?
Yudhi Effendi Khantum-Keerom
Cucuran keringat mengalir deras dari wajahnya ketika Bintang Papua pertama kali bertemu dengannya di lokasi pembakaran kayu yang nantinya akan menjadi arang, Sabtu (20/2) sore.
Wajahnya yang datar menggambarkan kelelahan yang dirasakannya ketika membalas salam dari Bintang Papua.
“Mari mas, mau cari apa,” tanya Misriati kepada Bintang Papua, Sabtu (20/2) sore di lokasi pembakaran kayu hingga jadi arang di Arso 2, Distrik Arso, Kabupaten Keerom.
“Saya mau cari arang, sekalian lihat-lihat proses pembakaran kayu hingga jadi arang,” sahut Bintang Papua.
sebelum melihat arang yang dicari, mata ini melihat sekeliling dimana, tumpukan kayu yang berhamburan dan kayu-kayu yang telah disusun rapi di tempat pembakaran (lebar 4 m dan panjang 6 m) yang dibuat terbuka.
Terlihat arang yang sudah hancur dan ada juga yang masih bagus tersusun rapi di lokasi tersebut.
“Ini harga arang berapa di karung 50 kg,” tanya Bintang Papua ke Misriati. “O, itu harganya Rp 100 ribu,” sahutnya.
“Apakah harganya bisa kurang,” tanya Bintang Papua lagi. “Untuk arang di karung 50 kg, harganya Rp 100 ribu. Kalau di bawah (Kota Jayapura,red) harganya Rp 120 ribu,” katanya sesuai informasi yang diperolehnya mengenai harga arang yang dibeli langganannya kemudian dijual kembali di Kota Jayapura.
Dari percakapan itu, akhirnya Bintang Papua membeli satu karung arang. “Oke saya (Bintang Papua,red) beli arang ini ya,” ujar Bintang Papua sembari mengeluarkan uang untuk membayar arang tersebut.
Misriati, wanita 56 tahun tersebut telah menjadi pembuat arang selama tujuh (7) tahun lamanya. Dia dibantu suaminya dan seorang tenaga kerjanya untuk membuat arang yang berkualitas, sebelum didistribusikan ke Kota Jayapura.
“Saya sudah tujuh tahun usaha membuat arang. Sebelum jadi pengusaha arang, saya usaha jual-beli pisang,” jelas wanita yang telah merantau dari Pulau Jawa ke Papua sejak tahun 1990-an.
Dia melanjutkan bahwa usaha jual-beli pisang yang awalnya digelutinya selama 10 tahun, sebelum akhirnya memilih membuat arang sebagai mata pencahariannya saat ini.
“Saya melihat arang sangat menjanjikan dibanding jual-beli pisang. Makanya saya pilih menjadi pembuat arang,” terangnya.
Hasil arangnya pun didistribusikan ke langganannya di Kota dan Kabupaten Jayapura. “Arang ini saya jual ke Sentani, Kotaraja, Hamadi,” sebutnya.
Menurutnya, awalnya dijual ke langganan Rp 80 ribu/karung 50 kg (tidak penuh karungnya). Nah, saat ini dirinya menjual dengan harga Rp 100 ribu/karung 50 kg (karung penuh).
“Ya, harga Rp 80 ribu saat ini sudah Rp 90 ribu itu tidak penuh. Dan Rp 100 ribu karung penuh,” tegasnya sambil menunjuk arang dalam karung yang terisi penuh.
Saat ini, hasil arangnya telah dipasarkan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Sarmi. Bahan baku pembuat arang di Arso 2, Distrik Arso, Kabupaten Keerom adalah kayu Gamal (Gliricidia Sepium).(*)